Citra Wanita Kotogadang, Terupa dan Terbaca

 

Entah kenapa citra wanita acap kali menjadi bahan pemikiran saya, baik secara visual maupun verbal. Terlepas dari kenyataan bahwa saya seorang wanita yang terupa dan terbaca sebagai wanita, atau secara visual jelas-jelas adalah wanita. Pada kenyataannya wanita selalu menjadi bahan pembicaraan, oleh wanita atau bukan wanita.

Citra wanita terbentuk banyak oleh penampilan dirinya. Apalagi di tengah dunia laki-laki di mana penilaian visual menduduki peringkat atas setelah isi, bagai kulit yang terlihat lebih nyata daripada manis buahnya. Penampilan seorang wanita dibentuk oleh wajah dan kelengkapan penunjangnya, yaitu pakaian dan perhiasannya. Dalam setiap budaya dan zaman, terbentuknya penampilan wanita dan segala kelengkapannya dipengaruhi secara langsung oleh situasi ekonomi, sosial, budaya, dan latar belakang tradisi dan agama.

Dalam budaya tradisi, khususnya tradisi ranah budaya saya, Kotogadang – Minangkabau, citra wanita terbaca melalui pakaian yang digunakannya, dari corak dan warnanya. Bagaimana seorang gadis dicitrakan, akan berbeda dari wanita dewasa (baru atau lama menikah), dan wanita usia tua (yang sudah memiliki cucu). Warna dan corak baju ini berada dalam nuansa merah yang menerang dan memudar, sesuai dengan lanjutnya usia wanita itu.

Corak dan warna pakaian seorang gadis, dengan bahan busana tipis menerawang, berwarna muda merah atau warna lain yang mencitrakan kesegarannya. Kemudian corak dan warna pakaian wanita dewasa yang baru menikah, berwarna merah terang merekah, ditambah sampiran selendang yang merah berbordir benang emas yang meriah. Makin lama usia pernikahan wanita tersebut, maka warna selendang yang dipakainya boleh pula berkurang kadar kecerahannya. Sampai akhirnya wanita usia tua, akan menggunakan pakaian yang pudar pula warnanya, bukan karena lama terpakai, tapi karena tidak lagi pantas berwarna cerah.

Tradisi budaya ranah minang, Kotogadang ini, sesungguhnya tidak lepas dari filosofi hidup yang terkait erat dengan alam. Di mana seseorang mengalami perkembangan sampai puncak keranumannya, kemudian merekah, dan akhirnya meredup sejalan dengan bertambahnya usia. Tidaklah pantas citra visual yang ditampilkan seorang wanita Kotogadang, melawan kodrat waktu dan budaya tanah kelahirannya.

Tinggalkan komentar