Dunia Seolah-olah di Central Park

Suatu akhir minggu saya menikmati keberadaan saya di sebuah mal di Jakarta Barat. Mal yang mengambil nama dari sebuah taman urban yang sangat terkenal di New York ini, agaknya memang menginginkan keberadaannya diakui sebagai tempat tongkrongan yang menyenangkan banyak orang. Pepohonan dan ruang terbuka bentukan diciptakan di sini, lengkap dengan kolam ikan dan lajur pejalan kaki mengilingi taman yang seputaran tengah saja.

Mal memang menjadi tujuan wisata masyarakat urban saat ini. Sedemikian minimnya sarana ruang terbuka kota, mal diubah dari ruang belanja menjadi amat banyak ruang yang memuat ruang-ruang pribadi tempat membuat janji bertemu dan menampilkan serta mengonsumsi mode yang tak ada habisnya. Mal didesain secara strategis untuk niaga dan pelayanan waktu luang, ruang bagi gaya pribadi dan pernyataan pribadi. Mal menjadi tampungan komoditas budaya populer, yang sewaktu-waktu merubah tampilan dan citra visual sesuai tema waktu saat itu. Seperti diutarakan oleh John Fiske, mal memberi ruang bagi manusia untuk secara indrawi dan kognitif memetakan posisinya dalam dunia eksternal dan lingkungan segera (immediate surrounding).

Dunia seolah-olah yang diciptakan di Mal Central Park ini ibarat bunglon yang mengikuti ruang dan waktu. Dalam waktu umum, ruang terbuka di tengah mal ini menjadi ruang terbuka yang seolah-olah alami. Dinikmati dalam ketenangan alam dan kehijauan rumput dan pepohonannya. Suasana ini berganti sesuai perjalanan waktu. Pada akhir tahun seperti sekarang ini, diciptakanlah suasana Natal lengkap dengan pohon natal besar sebagai center piece dan lagu-lagu natal yang bisa dinikmati pengunjung. Siang tentu berbeda dari malam, dan seluruh indera kita akan dirangsang oleh seluruh elemen pembentuk citra pendukungnya.

Citra merupakan bentuk yang paling lazim dalam mengisi ruang publik. Dalam kerangka fungsi komersialnya, citraan-citraan merupakan alat persuasif untuk menembus akal sehat kritis, untuk menjajah dan menguasai kehidupan batin, dan untuk membentuk dan mengatur tingkah laku (Yasraf Amir Piliang dalam Lifestyle Ecstasy). “Now Jakarta The Christmas City” adalah tag yang diusung oleh mal ini menyambut Natal. Sebuah kalimat pendukung pemasaran yang diwujudkan dalam visual nyata ruang bentukan yang dapat dilihat dan dialami pengunjungnya. Taman menjadi ruang ekspresi publik, dengan ilusi suasana dunia Barat yang kental. Di beberapa mal lain, dengan kemajuan teknologi pencitraan, suasana ini ditambah oleh butiran-butiran salju buatan yang ditunggu anak-anak dengan riang.

Saya menjadi penikmat dunia seolah-olah ini. Sambil mendengarkan alunan suara Michael Bubble dan memperhatikan laku pengunjung lain, saya membayangkan suasana dingin dan salju yang belum berhasil dihadirkan oleh mal ini…

Tinggalkan komentar